Setiap doa akan didengar, tiap doa akan dikabulkan, bersyukurlah

Bersabar bukanlah sifat melainkan keputusan karena aku hanyalah seorang hamba...

Minggu, 30 Oktober 2011

Kuselesaikan semuanya di Chechnya



Kulihat arloji di tanganku, pukul sebelas lewat delapan. Aku bergegas menuju gerbang sekolah, berbaur dengan siswa lain yang keluar. Jum’at ini kuputuskan untuk sholat Jum’at di kawasan Kramat Raya. Untuk menghemat waktu kuputuskan tidak usah pulang dulu, aku mau jalan kaki aja. Tidak terlalu jauh dari sekolahku. Jalan Salemba dan Jalan Kramat Raya nyambung. Jum’at pekan lalu aku sholat Jum’at di masjid Arif Rahman Hakim UI. Sekarang aku memutuskan ke masjid di Jalan Kramat Raya.

Aku tidak ingat persis kapan kebiasaanku ini kumulai. Mungkin sekitar setahun terakhir ini. Suatu kebiasaan yang mungkin agak aneh untuk ukuran anak SMU sepertiku. Awalnya seorang teman abangku main ke rumah, Bang Arif namanya. Karena abangku-Bang Rahman- sedang mandi, aku keluar menemani Bang Arif duduk di teras. Kulihat dia membawa beberapa buku, diletakkan di meja di antara dua kursi teras yang kami duduki.

“Buku baru ya bang?” Tanyaku.
“Bukan…barusan abang ambil dari rumah teman. Buku lama kok.”
“Boleh liat bang?” Pintaku. Bang Arif menyodorkan buku-buku itu padaku. Aku membolak-balik sekilas buku-buku itu. Aku belum pernah melihat buku-buku sejenis ini, apalagi membacanya. Buku-buku itu karangan Syekh Abdullah Azzam, Syekh Sayyid Qutb dan Syekh Abu Muhammad Al-Maqdisiy.
“Kalau Rasyid tertarik…boleh pinjam semuanya kok.”
“Benar bang?! Sampai kapan?” Aku benar-benar tertarik.
“Nanti kalau ke sini lagi baru abang ambil.”

Aku membawa buku-buku itu masuk ke kamar. Kebetulan Bang Rahman sudah dandan rapi dan bersiap mengeluarkan motornya. Gak lama kemudian kudengar motor abangku telah melaju pergi. Abang akhir-akhir ini jarang di rumah. Kalaupun di rumah, dia lebih asyik di depan komputernya dari pada ngobrol, becanda atau nonton televisi bersama kami. Sepertinya ada yang berubah pada abangku ini, lebih jarang ecanda dan menjadi lebih serius. Cambang dan jenggotnya dibiarkan tumbuh memanjang. Jika berjalan….kalau aku perhatikan….dia selalu fokus pada satu titik, tidak mendongak dan tidak menunduk. Padahal tadinya, di antara kami lima bersaudara, dia yang paling usil. Meskipun paling tua, tapi paling tidak bisa diam. Selalu ada saja ulahnya….ngumpetin sepatu olahragaku sebelah, padahal aku sedang buru-buru. Di lain waktu dia menukar-nukar kaos kaki yang telah ku susun rapi, menaruh mainan berbentuk cicak dalam buku adikku…yang menyebabkan dia menjerit-jerit histeris khas cewek. Tapi belakangan dia berubah. Jangankan usil…becandapun jadi jarang. Teman-teman Bang Rahman yang datang ke rumah juga berubah. Kalau dulu teman Bang Rahman yang datang ke rumah bawa gitar dan banyak yang punya tato, sekarang lain. Semua teman baru Bang Rahman yang ke rumah berpakaian rapi, berbicara sangat sopan dan pelan serta berjenggot. Mereka sering membawa buku-buku, diktat, atau proposal kegiatan…tak jelas benar bagiku. Yang aku tahu, Bang Rahman telah berubah.

Pernah suatu ketika, selepas sholat Asar, dia memberi tahu aku cara sholat yang benar. Bagaimana posisi kakiku saat rukuk, bagaimana aku memusatkan pandangan, caraku berdo’a… hal-hal yang selama ini tak pernah kuperhatikan, khas cowok pelajar SMU..he….he…..he…., setidaknya itu pendapatku. Dan dia marah padaku, saat melihat aku dan teman-temanku bercanda sambil mengerjakan tugas sekolah di teras. Begitu temen-temenku pulang, dia memanggilku. Meskipun suaranya pelan tapi ada nada marah yang ditekan. Dia bilang aku telah kelewat batas. Dalam Islam pergaulan pria dan wanita itu diatur. Sangat ketat dan sangat rinci……..untuk menghormati wanita. Itu sebabnya ada aturan menundukkan pandangan, ada larangan berkhalwat, ada larangan membuka aurat…..
“Ini kamu!! Malah teplak-teplok….towal-towel…..sama anak perempuan seenaknya!!…. ” aku melongo. Rasanya semua yang kulakukan masih wajar sebatas bercandanya remaja, khas pelajar SMU, he..he…he… sekali lagi itu pendapatku.
Setelah kejadian itu, Bang Rahman menyarankan aku ikut rohis di sekolah. Awalnya aku enggan..tapi karena ibu ikut-ikutan mendesak, akhirnya aku masuk juga ke kegiatan rohis. Mula-mula sekedar duduk manyun dalam pengajian…..lama-lama aku mulai aktif bertanya dan berdiskusi…..lama-lama aku berubah. Kajian rohis telah memahamkan aku akan perilaku Islami, perbaikan ibadah sehari-hari dan bacaan Al-Qur’an-ku.
Meskipun aku merasa aku telah banyak berubah menjadi lebih baik….tapi masih ada yang kurang. Masih ada yang belum kutemukan. Diam-diam dalam benakku terpaku dalam sebuah pemahaman, ah bukan!! Tapatnya pertanyaan!! Sebuah pertanyaan bermula setelah aku membaca buku-buku yang dipinjamkan Bang Arif. Aku baru tahu dari buku “Pelita Yang Hilang” karya Syeikh Abdullah Azzam kalau Daulah khilafah Islam telah runtuh pada tahun 1924. aku tahu sepak terjang Mustafa Kamal Attaturk dan semua kebobrokan yang terjadi di negeri-negeri kaum muslimin setelah Daulah Utsmani runtuh. Selama ini aku cuma tahu kalau ini negara Republik dengan segala pernak-perniknya…..selebihnya aku tidak peduli. Ternyata Syeikh Maqdisy menjelaskan kesalahan demokrasi, kesalahan bentuk-bentuk dan sistem kenegaraan yang diterapkan di semua negeri kaum muslimin sekarang ini. Sekali lagi………selama ini yang kupahami, demokrasi itu sempurna karena semua bermula dari rakyat karena kedaulatan di tangan rakyat. Dan di antara pemahaman baru itu yang paling menarik perhatianku adalah buku berjudul “Perang Jihad di Zaman Modern” karya Syeikh Abdulla Azzam. Selama ini aku memahami bahwa satu-satunya hal yang akan menyempurnakan agama adalah pergi haji. Sering aku berkhayal bahwa aku akan pergi haji kelak….menjelang tua….gak usah buru-buru. Tapi aku terkesiap!!! Ternyata ada sebuah kewajiban yang begitu mulia…dan tak semua kaum muslimin muslimin memahami apalagi melaksanakannya. Buku itu menerangkan definisi jihad, niat dan tujuan jihad, jalan menuju jihad dan semua hal itu menyentak jiwaku. Buku itu bahkan sempat kubaca hingga tiga kali sebelum kukembalikan pada Bang Arif.

Tiba-tiba aku ingin mencari-cari dimana pemahaman seperti itu kudapatkan. Meski aku sudah aktif di rohis sekian bulan, belum aku temukan tanda-tanda aku akan bertemu pemahaman seperti dalam buku-buku yang kupinjam dari Bang Arif. Maka akupun mulai mencari dari berbagai pengajian dan tabligh akbar, tapi tidak juga kutemukan. Dan kini perburuanku mengarah pada berbagai khotbah Jum’at. Aku melakukan shalat Jum’at berpindah-pindah, dari satu masjid ke masjid lain. Kalau lagi punya duit, pulang sekolah aku langsung naik bis dan setelah beberapa kali berganti bis dan angkot aku turun dan shalat Jum’at di sebuah masjid di mana saja. Berbagai pengalaman lucu kutemui dalam perburuanku ini. Aku pernah dihardik seorang ta’mir di sebuah masjid di kawasan Rawasari. Masjid itu tampak megah dan masih terlihat sepi saat aku datang. Tapi kenapa aku gak boleh shalat di sana….belakangan ada temanku yang bilang, itu semacam masjid untuk sebuah kelompok tertentu dan tertutup bagi orang diluar kelompok mereka. Aneh! Itu yang terpikir olehku. Di saat yang lain aku pernah masuk ke masjid ketika khutbah nyaris selesai, soalnya kejauhan nyari masjidnya.dan bahkan aku pernah pulang jalan kaki karena aku lupa memperhitungkan ongkos di kantongku, beruntung di daerah dekat Senen aku bertemu seorang tetangga yang memberiku tumpangan pulang. Sayangnya sejauh ini belum ada tanda-tanda kutemukan apa yang kucari. Kalaupun ada khatib yang bersemangat berapi-rapi memaparkan memberantaskan kemungkaran tapi ujungnya bukan jihad seperti yang kucari.
“Rasyid!!….mau ke mana?” teman sekelasku yang bernama Adi berlari-ari menyusulku.
“Ke masjid, mau bareng?” Tanyaku.
“Lu gila ya?…semangat banget!!! Gak pulang dulu, makan kek…nyantai kek…nyantai dulu kek…. ” Adi mencibir.
“Tadi pas istirahat gua udah makan…jadi sekarang mau jalan nyantai aja ke masjidnya. Ngirit ongkos.”
“Lu lagi bokek ya?!!” ledeknya. Aku mengangguk masam.
Setelah kubujuk, mau juga dia ke masjid bersamaku. Kami jalan santai sambil mengobrol di sepanjang Jalan Salemba Raya kemudian berlanjut di Jalan Krama Raya, menyeberang di jembatan sebrang dan masuk halaman masjid di kawasan itu. Belum terlalu ramai, kamipun langsung mengambil wudhu dan shalat sunnah. Kusimak seluruh uraian khatib hingga khutbah berakhir….belum juga kutemukan apa yang aku cari.

^^^
Hampir setahun aku mencari, sudah puluhan masjid kudatangi…..sebagian besar di wilayah Jakarta pusat, tapi belum juga kutemui hasil. Sebenarnya di mana aku harus mencari….apa yang salah dengan pencarianku….siapa yang bisa membantu…..
Ketika semua pertanyaan itu muncul silih berganti, pencarianku pun berakhir dan berhasil. Tadinya aku berpikir…..kadang berandai-andai…..pencarianku akan berhenti pada sosok khatib dengan khotbah yang berapi-api penuh semangat atau pada sosok ulama’ besar muncul di sebuah tabligh akbar. ternyata tidak. Pencarianku berhenti pada seorang pria yang kutabrak tidak sengaja di sebuah toko. Ya! Seorang berumur awal tiga puluhanan, setidaknya itu tebakanku.

Sore itu aku pergi ke sebuah toko buku di kawasan Kwitang. Aku berniat membeli Al-Qur’an kecil dan beberapa buah buku jika uangku cukup. Alqur’an kecil bersampul hitam kupilih, terlihat mungil dan bagus. Uangku masih cukup untuk membeli dua-tiga buah buku. Jadi aku asik memilih-milih buku. Tiba-tiba aku tersadar, jika waktu hampir masuk maghrib. Aku membayar di kasir dan buru-buru keluar. Di pintu keluar aku menabrak seorang pria, yang aku rasa juga sedang terburu-buru. Buku yang dibawanya dalam kantong plastik terjatuh.

“Maaf…maaf pak. Saya tidak sengaja…saya…saya lagi buru-buru…” Aku bersungguh-sungguh minta maaf. Pria itu tersenyum tulus. Aduuh… leganya..
“Gak papa, kok. Adik mau kemana?” Pria itu membetulkan letak kaca matanya.
“Mau sholat ke masjid, habis itu pulang.”
“Kita sama-sama yuk.” Ajaknya. Aku mengikutinya ketika dia berjalan ke arah jalan di sebelah toko buku itu, berbelok masuk ke sana. Tadinya aku berpikir dia akan mengajak aku shalat di area toko buku itu.
“Aku tinggal dekat sini….” Suaranya memecah kebisuan. Oh ternyata itu alasannya.

Selepas shalat aku duduk di teras masjid. Sebagian jama’ah shalat terlihat beranjak pulang. Tiba-tiba pria tadi duduk di sebelahku. Tatapan matanya bersahabat.

“Adik tinggal di mana?” Tanyanya.
“Percetakan negara, pak.” Dan tiba-tiba kami merasa akrab…setidaknya itu perasaanku….dan terlibat obrolan santai. Ketika kutunjukkan buku-buku yang kubeli dia tampak kaget. Aku membeli buku-buku syeikh Abdullah Azzam dan Sayyid Quthb. Meskipun sebagian buku itu pernah kubaca saat kupinjam dari Bang Arif. Aku ingin punya sendiri, jadi kuputuskan untuk membeli. Ketika kujelaskan tentang pencarianku ke masjid-masjid setahun belakangan ini, dia tampak menyimak dengan sungguh-sungguh. Tadinya kupikir dia akan mentertawakan aku atau setidaknya tersenyum. Ternyata tidak. Pria itu begitu menyimak penuturanku, seperti tak ingin terlewat dalam setiap detilnya.

“Adik bersungguh-sungguh mencarinya. Tentu. Setahun bukan waktu yang pendek. Sepertinya aku bisa membantu.” Dia menulis pada selembar kertas kecil dan menyerahkannya padaku.
“Datanglah ke alamat ini minggu depan. Hari Ahad ba’da ashar.”
Aku menerima kertas itu dan berpamitan. Aku masih belum mengerti benar dengan maksud perkataanya “membantu”. Dia bahkan tidak berkomentar banyak atas ceritaku. Tapi aku akan berusaha datang ke alamat itu minggu depan dan melihat bagaimana dia membantuku.

^^^
Rumah di alamat ini mudah ditemukan. Terletak di gang dekat masjid tempat aku shalat magrib minggu lalu. Ketika kuketuk pintu dan kuucapkan salam, pria yang kutabrak di toko buku itu yang membukakan. Aku kaget, tapi senyumnya segera menetralisir kekagetanku.
“Masuklah….. ayo silakan.”
Itulah pertama kali aku berkunjung ke rumahnya, rumah ustadz Umar, begitu aku memanggilnya kemudian. Minggu-minggu berikutnya aku datang ke rumah ini rutin, bersama beberapa anak seumuranku. Dirumah Ustadz Umar, aku benar-benar menemukan apa yang kucari selama ini. Dari Ustadz Umar aku belajar tauhid yang lurus, tauhid Ahlussunnah wal-jama’ah sunnah wal jama’ah, aku memahami jihad dengan segala hal yang berhubungan dengannya. Kadang seorang yang menurutku tingkatannya lebih tinggi, mengisi pengajian kami. Biasanya sebulan sekali. Namanya Ustadz Hamzah.

^^^
Ujian kehidupan memang harus dihadapi setiap insan. Setiap tahap dengan ujiannya sendiri, agar diketahui siapa yang bersabar dan tidak, siapa yang bertawakkal dan tidak. Dan ujianku pun datang dari Sang Khaliq untuk mengetahui seberapa tebal imanku.
Sore itu aku sakit perut, mules banget. Sudah tiga-empat kali aku ke belakang. Tadi aku juga sudah minum obat yang kubeli di warung depan, tapi sakitnya belum berkurang juga. Sambil memegang perut yang terasa meremas-remas aku duduk di teras.
“Bang Rasyid, nanti jemput rahmi di rumah Nina ya, mau bikin tugas. Jangan lupa ya!.” Pinta Rahmi, adikku sambil membuka pintu pagar.
“Aduh ….Abang lagi sakit perut…bikin tugasnya di sini aja…” aku meringis menahan sakit.
“Gak bisa! Udah janji, abis maghrib ya…please! Da-da abang, Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam….” Jawabku lemas.
Habis shalat maghrib aku berbaring di sofa, badanku terasa lemas, meski mulas perutku sudah berkurang. Tiba-tiba aku tertidur…entah berapa lama. Aku tergeragap ketika ibu membangunkanku untuk makan.

“Astagfirullah…sekarang jam berapa bu?”
“Delapan lewat dikit….”
“Hah!! Rahmi aku lupa menjemputnya!!”
Aku kalang kabut…kupakai jaket…kusambar kunci motor bapak dari gantungan, bergegas kukeluarkan motor. Serba tergesa.
“Hati-hati, Rasyid. Jangan ngebut!”.
“Assalamualaikum….”
“Waalaikum salam.” Jawab ibu sambil menutup pintu. Sepanjang jalan kuperhatikan orang-orang yang lewat…kalau-kalau ketemu Rahmi. Tiba-tiba aku merasa khawatir yang luar biasa. Jantungku terasa deg-degan tak menentu. Seperti ada firasat buruk menyelinap. Aku bergidik. Belum pernah aku merasa secemas ini, entah kenapa. Kupacu motor, berbelok di jalan Matraman. Ketika kumatikan motor di depan rumah Nina sahabat adikku, rumahnya tampak tertutup dan sepi. Hatiku makin khawatir.
Dari Nina kuperoleh keterangan kalau Rahmi pulang terakhir, setelah yang lain pulang. Karena lama menunggu aku, dia memutuskan pulang sendiri. Sebenarnya Nina dan ibunya sudah menahan agar jangan pulang sendiri. “Gak jauh”, begitu alasannya. Dengan dada yang semakin berdebar-debar aku susuri jalan pulang, mencoba memutar lewat JL Prmauka, siapa tahu Rahmi lewat sini. Di depan Statiun Kramat kusempatkan telpon ke rumah, menanyakan apa adikku sudah sampe ibu bilang belum. Aku makin berdebar-debar.
Sampai rumah semua panik. Kuhubungi lewat telpon temen-temen yang tadi mengerjakan tugas bersama. Tidak ada yang tahu. Mereka bilang, tadi mereka pulang duluan. Ya!! Aku sudah tahu. Semua karena aku terlalu panik tidak tentu mau buat apa.
Malam itu pencarian kami lakukan, dibantu aparat dan para tetangga. Semua jalan yang mungkin dilalui adikku kami susuri. Menjelang dini hari pencarian membawa hasil…hasil yang membuat aku terduduk lemas dan ibuku pingsan. Adikku telah meninggal…tergeletak berlumuran darah di sebuah kebun kosong. Ada dua luka tusukan menganga di perutnya. Darah membasahi baju dan kerudungnya. Badanku lemas gemetaran. Aku begitu syok..kenapa jadi begini….adikku….adikku yang malang….

^^^
Seminggu kemudian, kedua bajingan itu tertangkap. Dari mulut mereka mengakir pengakuan, bahwa malam itu dia melihat adikku berjalan sendirian. Jalanan cukup sepi karena langit mendung menggantung. Tiba-tiba bujukan setan halus merasuki setan-setan kasar itu. Mereka membekap dan menyeret adikku ke sebuah kebun kosong hendak memperkosanya. Karena adikku terus meronta-ronta dan menendang-nendang, dua bajingan itu kewalahan. Takut ketahuan orang yang lewat di jalan setapak pinggir kebun kosong itu, maka salah seorang menusuk adikku. Dan dua tusukan telah menghentikan perlawanan adikku.
Perasaan geram dan amarah luar biasa merasuki hatiku. Gigiku gemeretuk menahan marah. Sayang, setiap aku ingin menghajar….menendang…atau apa saja, tanganku selalu dipegang erat oleh para polisi. Terbayang, bagaimana tubuh mungil adikku berjuang dalam bekapan dua bajingan itu. Bagaimana adikku berjuang mempertahankan kehormatannya. Terbayang…bagaimana adikku tergeletak bersimbah darah….sendiri…hingga nafas terakhir terhembus. Ada perasan bersalah yang menghempas-hempas jiwaku. Ada sembilu mengiris-iris hatiku…seandainya aku menjemputnya tepat waktu…seandainya aku tidak tertidur…..seribu seandainya menyesaki rasa bersalahku. Bahkan hingga kini….
Tidak ada yang menyalahkan aku atas peristiwa itu. Tidak ibuku…bapakku pun nggak. Mereka kini bahkan sudah ikhlas menerimanya sebagai takdir Allah SWT dan begitulah adikku diambil Pemiliknya. Tapi tidak denganku. Semakin mencoba menerima kenyataan, semakin besar rasa bersalah menghunjam.

^^^

Hari ini Ujian Nasional terakhir. Masa SMA-ku akan segera usai. Tidak ada yang kurasa istimewa, semua datar dan terasa hampa. Meskipun obrolan-obrolan tentang kelulusan, nilai NEM atau daftar ke peguruan tinggi mulai semriwing mampir kek uping, aku tidak tertarik. Banyak teman-teman yang deg-degan menunggu kelulusan, banyak yang mulai asyik memilih-milih tempat kuliah.
“Hai sohib!! Lu mau kuliah di mana?” Adi sudah duduk di sebelahku, di pinggir lapangan sekolah.
“Afghanistan,” Jawabku serius.
“Lu gila kali!! Ga ada tempat lain?”
“Ada, Chechnya?”
“Di mana itu? Di dunia apa di akhirat?”
“Di dunia. Tapi bisa mengantarkan kita mulia dan bahagia di akhirat.”
“Aduh, lu kumat lagi ya?!! Baru kemarin lu waras dari berburu masjid.” Dia menempelkan tangannya di jidatku.
“Apaan sih?” kutepis tangannya.
“Tapi lu nggak panas….” Dia nyengir..hiih!!! anak satu ini emang tengil. Tapi ia temenku yang baik.

Sekarang sudah bulan Juli 1995. Awal bulan depan, Juli, segala hal yang berhubungan dengan sekolahku akan berakhir. Dan aku sedang mempertimbangkan ke mana aku akan pergi. Ada seorang teman yang akan pergi ke Afghanistan bersama ustadz Hamzah. Mereka akan pergi berjihad membentu pejuang Taliban. Tapi seorang ustadz yang lain menawarkan suatu tempat bernama Chechnya. Dan dua orang teman sepengajianku telah mendaftar.

Aku pernah minta izin pada ibu untuk ikut berjihad, beberapa hari yang lalu. Kujelaskan pada ibu kenapa jihad dan kenapa aku harus ikut. Dari sorot mata ibu dan bahasa tubuhnya, aku tahu ibu bisa memahami penjelasanku. Tapi ibu hanya diam, bersandar pada kursi dan kemudian air mata begitu deras mengalir di pipi ibu. Aku tidak mendesaknya…tapi tidak juga menyerah…

Chechnya adalah negeri yang jauh. Negeri yang nyaris tak pernah di dengar kaum muslimin beritanya. Chechnya adalah negeri yang jauh….jauh dari perhatian kaum muslimin di sini. Padahal, masuk pertengahan tahun 1995 ini telah setengah tahun mujahidin chechen-penduduk chechnya- mengangkat senjata. Pada 11 Desember 1994 Pasukan kufur Rusia masuk dan menyerang Chechnya untuk mencegah pemisahan dari negeri itu dari pemerintah Federasi Rusia. Masuk tahun 1995, Rusia telah berhasil menduduki kota Grozny setelah mematahkan perlawanan mujahidin Chechen, dalam perang yang sengit berkepanjangan.

Chechnya dan negara-negara Asia Tengah yang masuk dalam cengkeraman Federasi Rusia memang telah lama bergolak ingin melepaskan diri. Negeri-negeri itu dihuni oleh kaum muslimin yang menjadi penduduk mayoritas. Chechnya dan negara-negara Asia Tengah seperti Azerbaijan, Turkmenia, Uzbekistan, Kirzistan, Tajikistan dan sekitarnya adalah negeri-negeri yang memiliki populasi muslimdi atas 50%. Beberapa di antaranya bahkan berpenduduk muslim di atas 70%. Negeri-negeri itu adalah negeri yang subur. Berbagai bahan tambang tertanam di bumi yang telah lama menjadi bagian dari hegemoni Rusia itu. Hasil pertanian dan perkebunan melimpah.
Kekayaan alam ditambah berbagai instalasi militer yang tertanam di bumi kaum muslimin itu kini sedang dimanfaatkan oleh penduduknya untuk melepaskan diri, merdeka dari tindasan sosialis komunis Rusia. Dan itulah yang kini sedang terjadi di Chechnya, sebagaimana jihad juga berlangsung di Tajikistan sebelumnya.

Aku benar-benar berada dalam kebimbangan besar. Inilah hal terbesar yang harus kuputuskan sendiri. Aku, dalam usiaku yang delapan belas tahun adalah seorang pria dewasa dalam pandangan Islam. Taklif hukum berada di pundakku. Dosa dan pahala berada dalam kuasaku…apa yang kupilih untuk ku usahakan. Dan kaum muslimin …..jauuuuh di seberang lautan dari tempatku menghirup nafas dengan leluasa, sedang meminta bantuan dari saudara-saudara seiman. Dan di antara ratusan juta kaum muslimin yang bahkan tidak tahu di mana letak Chechnya di peta, aku adalah salah seorang yang tahu….dari penjelasan para ustadzku, bahwa Rusia bahkan telah bercokol di Grozny yang menjadi-setidaknya dianggap- ibu kota negeri itu.pasukan Rusia dengan tank-tank dan pesawat tempurnya telah memaksa penduduk sipil mengungsi pasukan Rusia merazia hampir setiap penduduk pria di manapun mereka bertemu…menangkap, menyiksa, dan bahkan membunuhnya.
Kenapa semua kenyataab itu belum mampu membantuku membuat sebuah keputusan?! Apa karena air mata ibu? Apa karena aku tak inginorang tuaku kehilangan satu lagi anak mereka? Apa karena aku takut kehilangan masa depan…..tapi bukankah masa depan yang sejati itu ridha Allah di syurga? Aku bergidik!! Apa sesungguhnya yang membuatku takut? Kenapa aku takut?! Bukankah kematian itu bisa datang kapan saja? Bahkan pada adikku, kematian itu begitu tiba-tiba dan menyentak…jadi kenapa aku tidak pergi….padahal aku tahu saudara-saudaraku sedang berjihad….sedang minta bantuan…..sedang kelaparan di tenda-tenda pengungsian…banyak muslimah Chechnya minta tolong karena mereka diperkosa!!….diperkosa!!!….tiba-tiba dadaku terasa sesak….napasku tersengal….kenapa aku tidak membantu? Kenapa aku harus merasakan siksaan rasa bersalah sekali lagi?!

^^^
“Akh Hisyam, tolong berikan surat ini pada ibu, aku tak sanggup melihat air matanya saat melihatku pergi. Sebulan ke depan…berikan surat ini pada beliau, aku rasa saat itu aku telah berada di sebuah kamp latihan mujahidin Chechen. Insya Allah.” Kuserahkan surat pesanku itu pada seorang kawan sepengajianku. Aku tak sanggup pamit langsung pada mereka.
“Doakan aku supaya bisa segera menyusul antum.” Dia memelukku erat.
“Insya Allah.”
Hari itu aku berangkat bersama Ustadz Umar. Seorang teman bisa mengurus dokumen perjalanan kami sebagai turis ke Turk. Kami pergi berdua, karena akan mencolok jika beramai-ramai. Dari Turki, seorang penghubung akan membawa kami ke Georgia. Dia seorang mujahid yang baru kembali dari jihad Tajikistan. Dia akan membawa kami masuk ke Chechnya lewat jalur darat dari Georgia. Menurut perhitungannya, itu yang paling mungkin bagi kami lalui meskipun mungkin akan memakan waktu lebih lama.
Perasaan deg-degan terus menghantui perasaanku sepanjang perjalanan. Seumur hidup, inilah pertama kali aku mengambil keputusan besar dan pergi begitu jauh. Meski sudah sekuat tenaga kuredam, tetap ada rasa was-was. Apalagi kami harus transit di Turki dulu untuk mengurus keberangkatan kami ke Georgia. Dua minggu tinggal di Turki, rasanya begitu lama, begitu menyiksa. Apalagi kami juga tertahan di Georgia beberapa hari. Wajah kami terlalu mencolok perbedaannya dengan penduduk negeri yang harus kami datangi, jadi pemandu kami harus ekstra hati-hati menyiasati perjalanan dan wilayah perbatasan. Bagaimanapun juga Chechnya bukanlah negeri tempat berwisata…yang memungkinkan segala rupa wajah keluar masuk dengan melenggang. Chechnya adalah medan perang…..di mana maut mengintai di setiap tarikan napas.
Perasaan lega tak terhingga adalah ketika kami diterima di sebuah kamp di luar kota Grozny. Pemandu kami segera menemui komandan kamp dan menjelaskan keberadaan dan tujuan kami, setidaknya itu yang tertangkap dalam pemahaman bahasa Arab-ku yang cekak.
Kamp ini terdiri dari semacam lapangan atau tanah terbuka di bagian depan. Banyak peralatan latihan militer seperti yang kulihat dari video-video sewaktu di Jakarta. Di bagian samping, ada papan-papan bergagang kayu yang kurasa adalah sasaran untuk latihan tembak. Beberapa barak berdiri setelah lapangan itu, untuk amar para kader mujahidin seperti kami. Aku tak bisa menghitung pasti jumlahnya, tapi kurasa sekitar 60 kader tinggal di sini. Mungkin jumlahnya memang tak pernah pasti, karena banyak kader yang sudah siap segera bertempur dan meninggalkan kamp ini. Sementara beberapa yang baru datang seperti kami. Di bagian samping barak ada sebuah perpustakaan yang berdampingan dengan sebuah pusat perawatan bagi mujahidin yang terluka semacam klinik kecil, karena terlalu kecil untuk disebut sebuah rumah sakit. Sebuah bangunan yang cukup besar ada di belakang deretan barak tersebut. Bangunan itu difungsikan sebagai masjid. Sedang di deretan paling belakan, dekat semak-semak ada sebuah gudang senjata kecil, sebuah lab yang juga kecil dan sebuah bangunan memanjang yang dijadikan sebagai dapur umum dan tempat makan. Kamar mandi sederhana berdiri berderat di sebelah bangunan dapur.

Aku melewati setiap detil latihan dengan sungguh-sungguh. Postur tubuhku yang lebih kecil dibanding mereka yang merupakan pemuda Chechen asli dan sekitarnya, membuatku harus berusaha lebih keras dalam setiap latihan fisik jika aku ingin mendapatkan hasil yang sama. Tapi dalam hal membidik sasaran, aku tidak berkecil hati. Seorang teman bahkan sempat memujiku, setidaknya itu menambah semangat dan membunuh rasa tidak sabarku menunggu diperbolehkan terjun langsung berjihad.
Bersama seorang pelatih, aku mempelajari berbagai macam senjata. Beliau seorang veteran mujahid Afghanistan. Pertama-tama kami belajar tentang berbagai macam senapan tangan. Kami belajar nama-nama senjata, amunisi jenis apa yang diperlukan, prosedur keselamatan saat menggunakannya, spesifikasi masing-masing senjata tersebut dan cara membersihkannya. Kami mempelajari semuanya sebelum diperbolehkan belajar menembak.
Aku menyimak dengan teliti setiap detilnya, sehingga aku cepat menghafalnya. Setelah itu kami belajar dengan senjata yang lebih besar dan berat. Ada senapan Uzi, yang didesain Uziel Gal pada tahun 1948. ada senapan militer Soviet yang bernama Degtyarev DP dan senapan yang biasa diselempangkan di pinggang bernama RPD, serta tentu saja Kalashnikov AK-47 yang legendaris dan favorit temuan Mikhail Kalashnikov. Ada senapan mesin otomatis bernama PK dan PKM. Kami juga menghabiskan berhari-hari untuk mempelajari senjata yang biasa dipasang tentara Rusia pada tiang kecil di tank mereka, namanya Dushka. Ada dua tipe Dushka; yaitu DshK dan DshKM 12,7. senjata itu sangat berat dan besar.
Setelah berbagai pistol dan senapan, kami beralih ke peluncur roket; RPG-7, RPG-181 dan RPG-22 yang sangat canggih. Dan terakhir, kami belajar tentang bahan peledak, ranjau dan berbagai teknik penyergapan. Semua harus kami pelajari dengan seksama dan secepat yang kami bisa. Karena medan jihad telah menunggu.

“Dhuarr!!” dentuman besar memekakkan telinga disusul dentuman-dentuman yang susul menyusul. Dua tank Rusia meledak diikuti api yang berkobar, sedang iring-iringan mobil dibelakangnya segera berbalik.
“Allahu Akbar!” Kami menghela napas lega. Sedari tadi kami diam membeku dibalik pepohonan menanti detik-detik keberhasilan operasi kami. Kami telah menanam bahan peledak dengan sistem PTD (Programmed Time Delay) yang kami tanam begitu kami dengar konvoi Rusia lewat. Kami menunggu dari tempat persembunyian beberapa ratus meter dari belokan jalan tempat kami menanam PTD untuk meledakkannya. Ini merupakan salah satu metode penyergapan kami yang cukup berhasil.
Setengah jam kemudian kami memeriksa bekas ledakan, nyaris tak ada yang tersisa. Ada empat atau lima tentara Rusia yang hancur, begitu hancur sehingga susah kami pastikan jumlahnya. Tak ada ghanimah…semua tinggal puing. Kami segera kembali ke markas karena mereka tentu akan segera kembali dengan ank-tank lain untuk mengambil mayat-mayat teman mereka.
Kurebahkan diri di matras tipis sesampai di markas, mengusir penat sebelum kami melapor kepada komandan. Kuurai kembali segala hal yang telah kami lakukan seharian ini, mencari celah kesalahan dan kekurangan. Untuk kembali menyusun rencana serangan dan menerima perintah selanjutnya dari komandan pasukan kami.
Dari hari ke hari pertempuran kian sengit. Dari hari ke hari pasukan Rusia kian biadab. Mereka sering mengadakan serangan dadakan ke sebuah wilayah atau desa, menangkap para pria, memperkosa para wanita dan gadis, menembak serampangan dan meninggalkan desa itu telah berasap di antara puing-puingnya. Dari hari ke hari gelombang pengungsi penduduk sipil, wanita dan anak-anak serta pria lanjut, semakin banyak. Mereka hanya membawa barang sekedarnya dan perbekalan yang minim. Mereka sering sudah kelaparan, bahkan sebelum sampai ke kamp-kamp pengungsian. Dari hari ke hari semakin banyak desa yang dibakar dan gedung yang hancur. Tetapi, dari hari ke hari juga semakin bertambah semangat para mujahidin dan makin banyak mujahidin yang datang membantu.

Kulihat di kamp-kamp latihan, banyak pemuda Dagestan, Uzbek, Tajikistan dan sekitarnya mulai datang untuk berlatih. Di antara pemuda-pemuda itu banyak yang kutaksir berumur antara 14 atau 15 tahun. Meskipun tinggi, postur mereka masih mirip anak-anak dibanding pria dewasa. Tapi sorot mata mereka tajam penuh semangat. Kesungguhan terpancar dari setiap gerak-gerik dan ucapan mereka. Mereka mempelajari segala hal begitu cepat…begitu menakjubkanku.

Hari ini kami akan mencegat iring-iringan pasukan Rusia yang akan membawa suplai bahan makanan dan amunisi dalam truk-truk besar mereka. Belum dapat diketahui berapa jumlah kendaraan dalam konvoi tersebut, tapi seorang informan mujahidin telah memberitahu rute yang kemungkinan besar akan mereka lalui. Kami tidak memasang bahan peledak…karena mengharapkan rampasan bahan makanan dan terutama amunisi. Segala hal kami rencanakan dengan cepat dan cermat.

Kami membawa AK-47, dua Duhka dan beberapa PKM. Di sebuah tikungan tajam menurun yang diapit pegunungan bersalju kami berpencar. Para pembawa Ak-47 dan PKM berpencar di bukit di kedua sisi jalan, mengintai dari balik semak dan pepohonan. Jika semua AK-47 dan PKM belum mampu melumpuhkan konvoi, maka di posisi paling ujung setelah jalanan menurun dua Dushka kami pasang di kedua sisi jalan. Begitulah rencananya dan kami menunggu.

Di kejauhan terlihat iring-iringan mobil dan truk. Satu mobil paling depan tiga truk mengiringi dan sebuah lagi mobil bak terbuka berisi personil tentara Rusia. Perasaan tegang menjalani sekujur tubuhku. Kupejamkan mata sekian detik untuk membaca bismillah. Semua telah siap dalam posisi masing-masing.

Serangan mendadak tentu saja menyentak mereka. Kurasa para sopir, terutama supir yang membawa suplai bahan makanan dan amunisi sedang berkonsentrasi pada jalan yang menikung tajam dan turun curam. Tapi bagaimanapun mereka adalah pasukan negara yang terlatih, jadi serangan balasan yang sengit segera mereka lancarkan. Tapi posisi kami dari atas, jadi lebih beruntung. Setelah beberapa menit baku tembak, aku melihat ledakan dahsyat pada mobil bak terbuka yang berisi personil yang terpelanting berhamburan ke segala arah. Ledakan itu pasti dari Dushka kami. Baku tembak masih berlangsung beberapa menit lagi sebelum konvoi itu kami lumpuhkan total. Kami membawa dua orang kawan yang syahid, Insya Allah, dan dua orang lagi yang terluka tembak. Segera mengambil alih sebuah mobil dan dua truk berisi bahan pangan, sebuah truk berisi berbagai macam senapan dan amunisi, dan itulah rampasan perang kami hari ini. Cukup banyak.

Beberapa hari ini aku tidak terlibat dalam operasi penyergapan. Kugunakan hari-hariku untuk belajar kembali beberapa teknik penyergapan dari buku manual dan teknik melarikan diri dari kepungan musuh. Tiba-tiba wakil komandan markasku datang dan berbicara berbisik kepadaku. Dia menyuruhku berganti pakaian dengan pakaian berwarna abu-abu. Setelah itu dia memberiku sebuah surat dan aku harus mengantarkan surat rahasia itu kepada seorang komandan dari sebuah markas mujahidin yang berjarak sekitar dua mil dari markas kami. Sebuah pistol diberikannya padaku dan segera kuselipkan di pinggang. Kuraih jaket dari gantungan dan kukenakan serapi mungkin. Setelah menerima intruksi dan kata sandi yang harus kuucapkan, aku berangkat. Meskipun merasa deg-degan, tapi aku bangga menerima tugas ini.

Kulalui jalan yang berbeda sepulang mengantar surat rahasia itu. Aku tak ingin ada yang mengenali dan membuntuti. Kupilih jalan melewati sebuah desa yang telah ditinggalkan sebagian penduduknya mengungsi. Desa ini masih berpenghuni karena masih ada asap mengepul dari beberapa cerobong asap di beberapa rumah yang kulewati. Tiba-tiba kupingku menangkap samar-samar suara jerit perempuan.seseorang nampaknya berusaha membekapnya karena suaranya kadang terdengar dan kadang tidak, seperti dibungkam dari belakang. Aku mencari sumber suara itu. Dikejauhan kulihat seseorang tentara Rusia mendorong-dorong seorang gadis Chechen berusia belasan tahun, mungkin 16 atau 17 tahun. Kedua tangan gadis itu terikat kebelakang. Seorang tentara mendekap bahu gadis itu dan mendorong-dorongnya agar mau berjalan. Sedang seorang tentara Rusia yang lain mengawal di belakang mereka dengan senjata yang dia acungkan ke kiri-ke kanan.

Tiba-tiba amarah yang luar biasa menjalari diriku. Darahku terasa mendidih dan gigi-gigiku terasa gemeretuk. Dua biadab Rusia itu tba-tiba menjelma sebagai dua bajingan yang berusaha memperkosa adikku. Aku bergidik!! Tapi di mataku biadab Rusia itu benar-benar berwajah bajingan-bajingan yang kulihat di kantor polisi waktu itu. Refleks aku mengikuti mereka dari kejauhan. Mereka berbelok dan memasuki sebuah rumah yang kurasa telah kosong ditinggal pemiliknya mengungsi. Setelah beberapa menit, aku menyusul dari samping rumah itu.

Dari dalam terdengar seorang biadab itu membentak-bentak gadis itu dan mengancamnya. Gadis itu menangis dan memohon. Kuraba-raba pistol dibalik bajuku, kucabut dan kukokang. Dengan pistol terkokang aku mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci. Besar juga nyali bajingan-bajingan ini. Seorang biadab mengacungkan senapan kutembak jidatnya. Aku lebih cepat sepersekian detik kurasa. Sementara bajingan satu lagi nyaris telanjang tergopoh-gopoh mencari pistolnya. Segera kutembak di dadanya…dua tembakan berhasil membuatnya roboh ke lantai.
Dengan isyarat, aku menyuruh gadis iu segera pergi. Tidak aman berlama-lama di sini. Kalau ada patroli Rusia bisa bahaya. Masih dengan wajah pucat dan gemetaran, gadis itu mengucapkan terima kasih….berkali-kali….lalu pergi. Kututup pintu rumah itu dan aku segera menyelinap di antara rumah-rumah penduduk. Perasaanku bercampur aduk, ada rasa deg-degan dan perasaan lega. Tiba-tiba perasaan bersalah yang menghunjam jiwaku selama ini tercerabut begitu saja. Tiba-tiba aku merasa seperti telah membunuh dua bajingan yang mencoba memperkosa adikku.
Perasaan bahagia dan lega merayapi sekujur tubuhku. Di bumi Chechnya….semua bebanku terangkat, lenyap. Beban yang sekian lama menghimpit itu terlepas, di Bumi Chechnya. Dan tiba-tiba…”Dharr!!” sebuah ledakan pecah di dadaku. Darah panas mengucur….kulihat di kejauhan dua orang tentara Rusia sedang menyeringai. Kuraba pistol di balik jaketku, dan sebuah letusan sekali lagi meletus di perutku. “Allah!” aku roboh….semuanya selesai sudah….bagiku!!.

*** ummu fauzi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar